Jumat, 04 Maret 2011
SENI PERTUNJUKAN DALAM PERSPEKTIF SEJARAH: KEBERADAAN MUSIK KERONCONG DI INDONESIA


Seni Pertunjukan adalah segala ungkapan seni yang substansi dasarnya adalah yang

dipergelarkan langsung di hadapan penonton. Seni pertunjukan dapat dipilah menjadi tiga

kategori yakni:

1. Musik (vokal, instrumental, gabungan)

2. Tari (representasional dan non-representasional)

3. Teater (dengan orang atau boneka/wayang sebagai dramatis personae).(Kasim,

2005).

Agak sulit rasanya untuk membicarakan perkembangan seni pertunjukan di Indonesia

secara keseluruhan, sebab masing-masing kategori (musik, tari dan teater) memiliki

karakter dan kekhasan tersendiri dan sangat kompleks. Oleh sebab itu, saya tidak akan

membahas ketiga kategori di atas, tetapi akan memfokuskan pembahasan hanya pada seni

pertunjukan musik, khususnya musik keroncong.

Akan halnya keberadaan musik keroncong ini, ada beberapa pendapat yang berbeda.

Di satu pihak ada yang mengatakan bahwa sejarah perkembangan musik keroncong

dimulai pada abd ke 17, masa ketika kaum mardijkers, keturunan Portugis mulai

memperkenalkannya di Batavia. Dari tulisan-tulisan A.Th.Manusama, Abdurachman R.

Paramita, S. Brata dan Wi Enaktoe kita dapat memahami bahwa menurut mereka

keroncong bukanlah kesenian asli ciptaan orang-orang Indonesia.

Namun di pihak lain, Kusbini seorang ahli keroncong yang terpandang di Indonesia

berpendapat lain. Dalam suatu ceramahnya yang disampaikan pada acara yang

diselenggarakan oleh Tim Olah Seni Indonesia (TOSI) pada tanggal 28 Desember 1970

di Jogyakarta, ia mengatakan bahwa musik keroncong adalah asli ciptaan bangsa

Indonesia. Oleh sebab itu keroncong adalah asli milik bangsa Indonesia. Lebih lanjut

dikatakan bahwa lagu-lagu keroncong Indonesia memang banyak dipengaruhi dan

diilhami oleh lagu-lagu Portugis abd ke 17, tetapi nada dan iramanya sangat berbeda.

Meskipun ada perbedaan tersebut, patutlah disadari bahwa keberadaan keroncong di

Indonesia dimulai pada abad ke 17, pada saat kedatangan bangsa Portugis ke Batavia.

(Munjid, 2001: 10-12).

Bila ditelusuri ke belakang, sejarah keroncong bermula dari suatu daerah di Batavia

yang bernama kampung Tugu. Sejak pertengahan abad ke 17, di Kampung Tugu tersebut

terdapat sekelompok masyarakat yang mempunyai hubungan erat dengan Portugis yang

*Makalah dipresentasikan pada Seminar Sejarah dengan tema Sejarah Seni Pertunjukan dan

Pembangunan Bangsa yang diselenggarakan oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional

Yogyakarta pada tanggal 17-18 Mei 2006

**Lektor Kepala pada Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas

Indonesia dan Direktur Nilai Sejarah Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.

disebut dengan Black Portuguese. Namun ada pula pendapat yang mengatakan bahwa

Black Portuguese ini sebenarnya adalah orang-orang yang berdarah Goa, Bengali atau

Coromandel yang dibaptis Katolik oleh tuan/majikan mereka, orang Portugis. Setelah

dibaptis, kemudian mereka mendapat nama Portugis.(Hauken, 2000).

Pendapat lain yang sedikit berbeda mengatakan bahwa ”Black Portuguese” ini adalah

orang-orang bangsa Moor yang menguasai semenanjung Luso-Iberi (sekarang Portugal-

Spanyol) pada abad ke 7 hingga 15. Ketika persekutuan raja-raja Katoloik (Los Reyes

Catolik) merebut kembali wilayah itu sekitar tahun 1492, beberapa di antara bangsa

Moor-yang beragama Islam bersedia dibaptis menjadi Katolik dan kemudian mendapat

nama Portugis. (Paramita, 1976). Meskipun sudah menjadi Katolik, mereka masih

mendapat perlakuan diskriminasi sehingga akhirnya keluar dari Portugis dan Spanyol

dengan cara bekerja dan ikut pada kapal-kapal dagang Portugis dan bekerja sebagai

budak. Sekitar abad ke 17 mereka sampai di Batavia dan kemudian diberi tempat di

Kampung Tugu.

Menurut Manusama yang diperkuat oleh Antonio Pinto da Franca, lagu keroncong

pertama di Indonesia lahir di kampung Tugu sekitar tahun 1661 yang berjudul Moresco,

Kafrinyu, Old Song dan Craddle Song. (Franca, 1970: 106-108). Sekitar tahun 1870-an,

ketika bahasa Melayu mulai populer di Batavia, musik keroncong mulai diminati oleh

orang-orang Indo-Belanda dan orang-orang Indonesia sendiri.

Di tangan orang-orang Indo ini, penampilan keroncong sedikit berubah menjadi lebih

romantis. Lagu-lagu keroncong yang dinyanyikan bersifat asmara merayu untuk merayu

lawan jenisnya. Mereka menyanyikan keroncong di jalan-jalan, di gang-gang kampung

melewati rumah-rumah para noni pada malam hari. (Suadi, 2000:81). Saat itu mulai

dikenal kata-kata asmara serayu seperti ...indung-indung disayang..., hai nona manis dan

lain sebagainya. Sejak dimainkan oleh orang-orang Indo, keroncong menjadi identik

dengan lagu asmara yang melankolis dan merayu.

Namun, pada pertengahan awal abad ke-20 (1920-1942) adalah masa yang dinamis

dalam sejarah perkembangan musik keroncong. Pada masa itu terjadi perubahan dan

perkembangan dari segi alat musik, irama, karakter lagu dan apresiasi terhadap musik

keroncong. Kala itu keroncong mulai memiliki popularitas yang cukup besar, terutama di

kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Jogyakarta dan Solo. Keroncong

mulai diperdengarkan di radio-radio dan mulai direkan pada piringan hitam.

Secara umum, perkebangan keroncong pada abad 20 dipengaruhi oleh musik-musik

Barat seperti irama off-beat dance dan hawaiian. Pengaruh tersebut tampak dalam

penggunaan alat-alat musik dan irama. Pada kurun waktu 1915-1937, datang ke

Indonesia musisi-musisi dari Rusia, Perancis, Belanda, Polandia, Cekoslawakia dan

Filipina, baik perseorangan maupun dalam kelompok-kelompok seperti kelompok

ensamble atau kelompok orkestra (Pasaribu, 1985). Melalui musisi-musisi inilah dunia

musik Indonesia, temasuk keroncong berkenalan dengan alat-alat musik, seperti cello,

string bass, flute dan gitar melodi. Juga mulai bersentuhan dengan irama musik jazz off-

beat dance dan hawaiian.

Diilhami oleh populernya permainan musik Barat, keroncong mulai mengadopsi

unsur-unsur musik Barat tersebut. Dalam musik keroncong mulai dipergunakan alat-alat

musik seperti flute, cello, string bass, gitar melodi dan biola menjadi susunan standar

pembentuk musik keroncong. Lagu-lagu yang dimainkan pun bertema romantis dengan

syair asmara merayu yang menjadi pilihan dan tampak semakin diminati.

Mulai tahun 1920-an, banyak lahir kelompok-kelompok keroncong di kota-kota besar

seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Yogyakarta dan Solo. Dan sebagian pemainnya

terdiri dari orang-orang Belanda. Dengan adanya unsur-unsur pemusik Barat, terutama di

Jakarta, Surabaya dan Bandung, mendorong timbulnya ”cap barat” pada musik

keroncong. ”Cap barat” itu semakin diperkuat oleh kenyataan perilaku para pelaku dan

penikmat keroncong yang agak ekslusif. Kebiasaan bernyanyi sambil minum minuman

keras, dansa-dansi, pesta-pesta dengan meniru budaya barat. Namun tidak demikian

halnya di daerah Jawa Tengah (Jogyakarta, Solo dan Semarang). Di Jawa Tengah

keroncong berakulturasi dengan musik tradisional setempat seperti gamelan. Fungsi alat

musik diidentikkan dengan fungsi alat musik dalam gamelan. Bass diidentikkan dengan

gong, cello dengan kendang, gitar dan biola atau suling dengan gambang serta rebab.

Lagu-lagu dari Jawa Tengah lebih tenang dan lembut. Irama dan perpindahan nadanya

lebih lambat, sehingga memungkinkan banyak cengkok dalam menyanyikan lagunya.

Cara menyanyikan dengan banyak cengkok juga identik dengan cara menyanyi lagu-lagu

Jawa. Sehingga berkembang satu bentuk atau corak musik keroncong yang dikenal

dengan langgam (kroncong Jawa).

Akan halnya keberadaan awal musik keroncong di Indonesia, ada dua tempat yang

berperan dalam sejarah keroncong, yakni Kampung Tugu dan Kampung Kemayoran di

Batavia. Sampai sekarang masyarakat Kampung Tugu masih tetap memainkan keroncong

khas mereka dengan menyanyikan lagu-lagu berbahasa Portugis seperti Moresco,

Prounga, Kafrinyu, Craddle Song dan Old Song. Orang-orang Kampung Tugu membuat

sendiri alat-alat musiknya yang dibuat dari kayu waru dan kayu kembang kenanga.

Selain itu, tradisi minum-minuman keras sambil bermain musik masih mereka jalankan.

(Sinar harapan, 9 September 1978).

Komunitas kedua adalah Kampung Kemayoran. Pada wal abad ke 20 di Kampung

Kemayoran pernah bermukim beberapa musisi keroncong terkenal seperti Atingan,

J.Dumas, Kramer, Any Landow dan Ismail Marzuki. Istilah de Krokodillen (buaya

keroncong) kemungkinan berasal dari sini. Dari musisi Kampung Kamyoran ini pula lahir

sebuah lagu yang berjudul ”Keroncong Kemayoran”. Dari catatan yang diberikan

Kusbini tahun 1935, lagu Keroncong Kemayoran memiliki beberapa kesamaan dengan

lagu-lagu Portugis orang-orang Kampung Tugu, baik irama maupun cengkoknya.

Perbedaannya hanya terletak pada syairnya yang berbahasa Melayu dan bersifat

improvisatoris.

II

Berkuasanya Jepang di Indonesia menjadi faktor penting yang mempengaruhi

perkembangan dan perubahan keroncong dalam perjalanan sejarahnhya. Untuk

memahami pengaruh Jepang dalam perkembangan dan perubahan musik keroncong, ada

dua strategi yang dijalankan Jepang dalam melancarkan misinya. Pertama, pandangan

dan sikap Jepang terhadap kebudayaan Indonesia dengan maksud ”mengambil hati”

rakyat Indonesia. Kedua, strategi propaganda Jepang untuk mendekati golongan Islam.

Kedua alasan tersebut dilakukan untuk mencari simpatik rakyat Indonesia

Pada masa pendudukan Jepang, mereka memilki misi yang disebut dengan ”perang

suci” melawan imperialisme barat. ”Perang suci” itu dilakukan dalam setiap aspek,

termasuk kebudayaan. Melalui lembaga kebudayaannya, Keimin Bunka Shidosho yang

berada di bawah badan propaganda Sendenbu, Jepang berusaha menghapus unsur-unsur

budaya barat dalam kesenian Indonesia, dan secara bersama-sama mengembangkan dan

memasyarakatkan kesenian asli Indonesia dan kesenian Jepang. Semua itu dilakukan

dalam semangat sebagai bagian dari bangsa Asia Raya. Keroncong yang sebelumnya

telah mendapat ”cap barat”, mendapat sorotan khusus.

Melalui bagian seni suara Keimin Bunka Shidoso, banyak masuk aspirasi yang

menginginkan dihapusnya unsur-unsur barat dalam keroncong. Unsur-unsur barat itu

dimaksudkan bukan pada teknis musik, tetapi lebih pada syair yang bersifat asmara

merayu dan perilaku pemusik dan peminat keroncong yang ada di kota-kota besar. Oleh

sebab itu, pada Agustus 1943, Jepang mengambil sikap dan tindakan melarang musik

keroncong yang dianggap kebarat-baratan itu. Musik keroncong diarahkan ke arah yang

lebih ketimuran, menjadi lebih sopan dan dianggap lebih bermoral. Tidak ada lagi syair-

syair asmara dengan kata-kata merayu yang dianggap melemahkan bangsa Indonesia.

Tidak ada lagi keroncong yang dinyanyikan berkeliling di jalan-jalan, dansa-dansi dan

mabuk-mabukan. Dan hal ini berlangsung sampai sekarang.

Pada jaman Jepang ini pula lahir banyak lagu-lagu keroncong yang bertemakan cinta

tanah air atau kepahlawanan seperti ”Suci”, ”Hanya Engkau” dan ”Jembatan Merah”.

Dan pada saat itu pula lagu ”Bengawan Solo” mulai dikenal dan bahkan sampai ke negeri

Jepang. Tema ”Kepahlawanan” dan ”Cinta Tanah Air” tetap bertahan bahkan setelah

Jepang meninggalkan Indonesia. Lagu ”Selendang Sutera”, ”Sepasang Mata Bola” dan

”Melati di Tapal Batas” adalah contoh lagu yang lahir setelah tahun 1945.

Sementara adanya pendapat yang berbeda mengenai keberadaan musik keroncong di

Indonesia, apakah merupakan musik asli Indonesia atau bukan, sebaiknya tidak perlu

diperdebatkan. Sangat sulit untuk mengatakan jenis musik tersebut asli ciptaan orang

Indonesia sebab menurut catatan atau sumber yang ada, musik tersebut adalah kesenian

yang lahir dari orang-orang yang mempunyai hubungan erat dengan orang-orang

Portugis. Namun, musik keroncong yang berkembang di Indonesia pun bukanlah jenis

musik keroncong asli Portugis. Yang bisa dikatakan adalah telah terjadi akulturasi atau

percampuran antara musik keroncong yang berasal dari Portugis dengan musik-musik

atau budaya yang ada di Indonesia. Demikian pula dengan jenis-jenis musik lainnya yang

banyak mendapat pengaruh luar seperti pop, jazz atau blues.

Agaknya, sekarang masyarakat Indonesia secara umum mengenal musik keroncong

sebagai sebuah kesenian musik khas Indonesia yang memiliki irama yang dinamis,

melodius dan teknik bernyanyinya dengan cengkok khusus, dibawakan oleh pemain

musik dan penyanyi yang sopan dan tidak banyak gerak dan gaya, sehingga terkesan

kaku. Banyak orang mengganggap keroncong adalah musik untuk kalangan orang tua.

Pada hal bila ditelusuri ke belakang, sebenarnya musik jenis ini justru dinyanyikan oleh

kalangan muda untuk merayu para nona-noni

posted by basanova @ 02.18   0 comments
Senin, 30 Agustus 2010
ASAL USUL BEROKAN INDRAMAYU
Berdasarkan hasil pendataan dan wawancara dengan beberapa tokoh seniman Indramayu, diketahui seni berokan lahir pada masa Prabu Pari Kesit Raja Amarta.
Pada saat Prabu Parikesit Raja marnadi Amarta, keadaan Negara di ambang kehancuran gangguan keamanan dan wabah penyakit terus berdatangan. Prabu Parikesit merasa kebingungan untuk mengatasinya.
Setelah beberapa lama berpikir , ahirnya Prabu Parikesit menemukan strategi untuk mengatasi hal ini. Maka dipanggilah seorang putranya diprintahkan untuk membuat lukisan hutan beserta isinya, dan dipasang di perbatasan kerajaan Amarta. Strategi ini ternyata berhasil mengelabui musuh. Maka kembali Prabu Parikesit menyuruh seorang anaknya untuk membuat lukisan laut beserta isinya.
Dari hasil lukisan itu ada bentuk kapala ikan tanpa badan. Maka untuk menyempurnakanya dibuatlah barong kapala ikan, dengan dilengkapi samping dari kulit kambing dan badannya terbuat dari karung goni. Wujud baru ini diberi nama” Rongrong Barong” yang artinya rorong itu tempat ikan tinggal (ada). Akhirnya Rongrong Barong itu,difungsikan untuk pertunjukan. Pada perkembangannya Rongrong Barong itu berubah nama menjadi Berok atau Berokan
posted by basanova @ 19.06   0 comments
SEJARAH DEGUNG DAN PERKEMBANGANYA
Degung merupakan salah satu gamelan khas dan asli hasil kreativitas masyarakat Sunda Gamelan yang kini jumlahnya telah berkembang dengan pesat, diperkirakan awal perkembangannya sekitar akhir abad ke-18/awal abad ke-19. Jaap Kunst yang mendata gamelan di seluruh Pulau Jawa dalam bukunya Toonkunst van Java (1934) mencatat bahwa degung terdapat di Bandung (5 perangkat), Sumedang (3 perangkat), Cianjur (1 perangkat), Ciamis (1 perangkat), Kasepuhan (1 perangkat), Kanoman (1 perangkat), Darmaraja (1 perangkat), Banjar (1 perangkat), dan Singaparna (1 perangkat).
Masyarakat Sunda dengan latar belakang kerajaan yang terletak di hulu sungai, kerajaan Galuh misalnya, memiliki pengaruh tersendiri terhadap kesenian degung, terutama lagu-lagunya yang yang banyak diwarnai kondisi sungai, di antaranya lagu Manintin, Galatik Manggut, Kintel Buluk, dan Sang Bango. Kebiasaan marak lauk masyarakat Sunda selalu diringi dengan gamelan renteng dan berkembang ke gamelan degung.
Dugaan-dugaan masyarakat Sunda yang mengatakan bahwa degung merupakan musik kerajaan atau kadaleman dihubungkan pula dengan kirata basa, yaitu bahwa kata “degung” berasal dari kata "ngadeg" (berdiri) dan “agung” (megah) atau “pangagung” (menak; bangsawan), yang mengandung pengertian bahwa kesenian ini digunakan bagi kemegahan (keagungan) martabat bangsawan. E. Sutisna, salah seorang nayaga Degung Parahyangan, menghubungkan kata “degung” dikarenakan gamelan ini dulu hanya dimiliki oleh para pangagung (bupati). Dalam literatur istilah “degung” pertama kali muncul tahun 1879, yaitu dalam kamus susunan H.J. Oosting. Kata "De gong" (gamelan, bahasa Belanda) dalam kamus ini mengandung pengertian “penclon-penclon yang digantung”.
Gamelan yang usianya cukup tua selain yang ada di keraton Kasepuhan (gamelan Dengung) adalah gamelan degung Pangasih di Museum Prabu Geusan Ulun, Sumedang. Gamelan ini merupakan peninggalan Pangeran Kusumadinata (Pangeran Kornel), bupati Sumedang (1791—1828)
Perkembangan
Dulu gamelan degung hanya ditabuh secara gendingan (instrumental). Bupati Cianjur RT. Wiranatakusumah V (1912—1920) melarang degung memakai nyanyian (vokal) karena membuat suasana kurang serius (rucah). Ketika bupati ini tahun 1920 pindah menjadi bupati Bandung, maka perangkat gamelan degung di pendopo Cianjur juga turut dibawa bersama nayaganya, dipimpin oleh Idi. Sejak itu gamelan degung yang bernama Pamagersari ini menghiasi pendopo Bandung dengan lagu-lagunya.
Melihat dan mendengarkan keindahan degung, salah seorang saudagar Pasar Baru Bandung keturunan Palembang, Anang Thayib, merasa tertarik untuk menggunakannya dalam acara hajatan yang diselenggarakannya. Kebetulan dia sahabat bupati tersebut. Oleh karena itu dia mengajukan permohonan kepada bupati agar diijinkan menggunakan degung dalam hajatannya, dan diijinkannya. Mulai saat itulah degung digunakan dalam hajatan (perhelatan) umum. Permohonan semacam itu semakin banyak, maka bupati memerintahkan supaya membuat gamelan degung lagi, dan terwujud degung baru yang dinamakan Purbasasaka, dipimpin oleh Oyo.
Sebelumnya waditra (instrumen) gamelan degung hanya terdiri atas koromong (bonang) 13 penclon, cempres (saron panjang) 11 wilah, degung (jenglong) 6 penclon, dan goong satu buah. Kemudian penambahan-penambahan waditra terjadi sesuai dengan tantangan dan kebutuhan musikal, misalnya penambahan kendang dan suling oleh bapak Idi. Gamelan degung kabupaten Bandung, bersama kesenian lain digunakan sebagai musik gending karesmen (opera Sunda) kolosal Loetoeng Kasaroeng tanggal 18 Juni 1921 dalam menyambut Cultuurcongres Java Institut. Sebelumnya, tahun 1918 Rd. Soerawidjaja pernah pula membuat gending karesmen dengan musik degung, yang dipentaskan di Medan . Tahun 1926 degung dipakai untuk illustrasi film cerita pertama di berjudul Loetoeng Kasaroeng oleh L. Heuveldrop dan G. Kruger produksi Java Film Company, Bandung . Karya lainnya yang menggunakan degung sebagai musiknya adalah gending karesmen Mundinglaya dikusumah oleh M. Idris Sastraprawira dan Rd. Djajaatmadja di Purwakarta tahun 1931.
Setelah Idi meninggal (tahun 1945) degung tersendat perkembangannya. Apalagi setelah itu revolusi fisik banyak mengakibatkan penderitaan masyarakat. Degung dibangkitkan kembali secara serius tahun 1954 oleh Moh. Tarya, Ono Sukarna, dan E. Tjarmedi. Selain menyajikan lagu-lagu yang telah ada, mereka menciptakan pula lagu-lagu baru dengan nuansa lagu-lagu degung sebelumnya. Tahun 1956 degung mulai disiarkan secara tetap di RRI Bandung dengan mendapatkan sambutan yang baik dari masyarakat. Tahun 1956 Enoch Atmadibrata membuat tari Cendrawasih dengan musik degung dengan iringan degung lagu palwa. Bunyi degung lagu Palwa setiap kali terdengar tatkala pembukaan acara warta berita bahasa Sunda, sehingga dapat meresap dan membawa suasana khas Sunda dalam hati masyarakat.
Pengembangan lagu degung dengan vokal dilanjutkan oleh grup Parahyangan pimpinan E. Tjarmedi sekitar tahun 1958. Selanjutnya E. Tjarmedi dan juga Rahmat Sukmasaputra mencoba menggarap degung dengan lagu-lagu alit (sawiletan) dari patokan lagu gamelan salendro pelog. Rahmat Sukmasaputra juga merupakan seorang tokoh yang memelopori degung dengan nayaga wanita. Selain itu, seperti dikemukakan Enoch Atmadibrata, degung wanita dipelopori oleh para anggota Damas (Daya Mahasiswa Sunda) sekitar tahun 1957 di bawah asuhan Sukanda Artadinata (menantu Oyo).
Tahun 1962 ada yang mencoba memasukkan waditra angklung ke dalam degung. Tetapi hal ini tidak berkembang. Tahun 1961 RS. Darya Mandalakusuma (kepala siaran Sunda RRI Bandung) melengkapi degung dengan waditra gambang, saron, dan rebab. Kelengkapan ini untuk mendukung gending karesmen Mundinglayadikusumah karya Wahyu Wibisana. Gamelan degung ini dinamakan degung Si Pawit. Degung ini juga digunakan untuk pirigan wayang Pakuan. Dari rekaman-rekaman produksi Lokananta (Surakarta) oleh grup RRI Bandung dan Parahyangan pimpinan E. Tjarmedi dapat didengarkan degung yang menggunakan waditra tambahan ini. Lagu-lagu serta garap tabuhnya banyak mengambil dari gamelan salendro pelog, misalnya lagu Paksi Tuwung, Kembang Kapas, dsb. Pada tahun 1964, Mang Koko membuat gamelan laras degung yang nadanya berorientasi pada gamelan salendro (dwi swara). Bentuk ancak bonanya seperti tapal kuda. Dibanding degung yang ada pada waktu itu, surupannya lebih tinggi. Keberadaan degung ini sebagai realisasi teori R. Machyar. Gamelan laras degung ini pernah dipakai untuk mengiringi gending karesmen, Aki Nini Balangantrang (1967) karya Mang Koko dan Wahyu Wibisana.
Tahun 1970—1980-an semakin banyak yang menggarap degung, misalnya Nano S. dengan grup Gentra Madya (1976), lingkung seni Dewi Pramanik pimpinan Euis Komariah, degung Gapura pimpinan Kustyara, dan degung gaya Ujang Suryana (Pakutandang, Ciparay) yang sangat populer sejak tahun 1980-an dengan ciri permainan sulingnya yang khas. Tak kalah penting adalah Nano S. dengan grup Gentra Madya-nya yang memasukan unsur waditra kacapi dalam degungnya. Nano S. membuat lagu degung dengan kebiasaan membuat intro dan aransemen tersendiri. Beberapa lagu degung karya Nano S. yang direkam dalam kaset sukses di pasaran, di antaranya Panglayungan (1977), Puspita (1978), Naon Lepatna (1980), Tamperan Kaheman (1981), Anjeun (1984) dan Kalangkang yang dinyanyikan oleh Nining Meida dan Barman Syahyana (1986). Lagu Kalangkang ini lebih populer lagi setelah direkam dalam gaya pop Sunda oleh penyanyi Nining Meida dan Adang Cengos sekitar tahun 1987.
Berbeda dengan masa awal (tahun 1950-an) dimana para penyanyi degung berasal dari kalangan penyanyi gamelan salendro pelog (pasinden; ronggeng), para penyanyi degung sekarang (sejak 1970-an) kebanyakan berasal dari kalangan mamaos (tembang Sunda Cianjuran), baik pria maupun wanita. Juru kawih degung yang populer dan berasal dari kalangan mamaos di antaranya Euis Komariah, Ida Widawati, Teti Afienti, Mamah Dasimah, Barman Syahyana, Didin S. Badjuri, Yus Wiradiredja, Tati Saleh dan sebagainya.
Lagu-lagu degung di antaranya: Palwa, Palsiun, Bima Mobos (Sancang), Sang Bango, Kinteul Bueuk, Pajajaran, Catrik, Lalayaran, Jipang Lontang, Sangkuratu, Karang Ulun, Karangmantri, Ladrak, Ujung Laut, Manintin, Beber Layar, Kadewan, Padayungan, dsb. Sedangkan lagu-lagu degung ciptaan baru yang digarap dengan menggunakan pola lagu rerenggongan di antaranya: Samar-samar, Kembang Ligar, Surat Ondangan, Hariring Bandung, Tepang Asih, Kalangkang, Rumaos, Bentang Kuring, dsb.
posted by basanova @ 19.05   0 comments
UPACARA ADAT SUNDA
Neundeun Omong



Dalam pelaksanaannya neundeun omong biasanya, seperti berikut ini :
- Pihak orang tua calon pengantin bertamu kepada calon besan (calon pengantin perempuan). Berbincang dalam suasana santai penuh canda tawa, sambil sesekali diselingi pertanyaan yang bersifat menyelidiki status anak perempuannya apakah sudah ada yang melamar atau atau masih (belum punya pacar)
- Pihak orang tua (calon besan) pun demikian dalam menjawabnya penuh dengan benyolan penuh dengan siloka
- Walapun sudah sepakat diantara kedua orang tua itu, pada jaman dahulu kadang-kadang anak-anak mereka tidak tahu.
- Di beberapa daerah di wilayah pasundan kandang-kadang ada yang menggunakan cara dengan saling mengirimi barang tertentu. Seperti orang tua anak laki-laki mengirim rokok cerutu dan orang tua anak perempuan mengerti dengan maksud itu, maka apabila mereka setuju akan segera membalasnya dengan mengirimkan benih labu siem (binih waluh siem). Dengan demikian maka anak perempuannya itu sudah diteundeunan omong





Narosan (ngalamar / nyeureuhan )





Dalam bertamu yang keduakalinya ini desebut ngalamar nama ini diambil dari nama barang yang dibawa pada waktu itu yaitu lemareun terdiri atasa sirih, gambir dan apu)
Pada pelaksanaannya orang tua anak laki-laki biasanya sambil membawa barang-barang, seperti yaitu :
- lemareun, (seperti daun sirih, gambir, apu )
- pakian perempuan
- cincin meneng
- beubeur tameuh (ikat pinggang sang suka dipakai kaum perempuan terutama setelah melahirkan
- uang yang jumlahnya 1/10 dari jumlah yang akan dibawa pada waktu seserahan





Barang-barang yang dibawa dalam pelaksanaan upacara ngalamar itu tidak lepas dari simbol dan makna seperti :
- sirih, bentuknya segi tiga meruncing ke bawah kalau dimakan rasanya pedas. Gambir rasanya pahit dan kesat. Apu rasanya pahit. Tapi kalau sudah menyatu rasanya jadi enak dan dapat menyehatkan tubuh dan mencgah bau mulut.
- cincin meneng yaitu cincin tanpa sambungan mengandung makna bahwa rasa kasih dan sayang tidak ada putusnya
- pakian perempuan, mengandung makna sebagai tanda mulainya tanggung jawab daripihak laki-laki kepada perempuan
- beubeur tameuh, mengandung makna sebagai tanda adanya ikatan lahir dan batin antara kedua belah pihak



Nyandakeun atau Seserahan





Bertamu yang ke-tiga kalinya nyaitu upacara seserahan /nyandakeun, menyerahkan calon pangantin pria kepada pihak calon pengantin perempuan, sekalian menyerahkan keperluan-keperluan untuk acara resepsi pernikahan. Adapun jumlah uang yang diberikan pada saat itu biasanya jumlahnya 10x jumlah pada waktu melamar. Pada waktu dewasa ini biasanya pemasrahan calon pengantin pria ini, dilaksanakan pada saat sebelum akad nikah dilaksanakan. Atau pada acara seren tampi





Ngecagkeun Aisan





Upacara ini biasa dilaksanakan sehari sebelum acara resepsi pernikahan dilaksanakan, upacara ini diselenggarakan di kediaman calon pengantin perempuan. Upacara ini dilaksanakan sebagai simbol lepasnya tanggung jawab kedua orang tua calon pengantin
Proferty yang digunakan pada upcara ngaras diantaranya yaitu :
1. Palika atau pelita atau menggunakan lilin yang berjumlah tujuh buah. Hal ini mengandung makna yaitu rukun iman dan jumlah hari dalam seminggu
2. Kain putih, yang mengandung makna niat suci
3. Bunga tujuh rupa, mengandung makna bahwa perilaku kita, selama tujuh hari dalam seminggu harus wangi yang artinya baik.
4. Bunga hanjuang, mengandung makna bahawa kedua calon pengantin akan memasuki alam baru yaitu alam berumah tangga.
Adapun langkah-langkah pelaksanaan upacara ngaras adalah sebagai berikut :
1. Orang tua calon pengantin perempuan keluar dari kamar sambil membawa lilin/ palika yang sudah menyala,
2. Kemudian di belakangnya diikuti oleh calon pengantin peremupan sambil dililit
(diais )oleh ibunya
3. Setelah sampai di tengah rumah kemudian kedua orang tua calon pengantin perempuan duduk dikursi yang telah dipersiapkan
4. Untuk menambah khidmatnya suasana biasanya sambil diiring alunan kecapi suling dalam lagu ayun ambing



Ngaras





Upacara ngaras artinya membasuh kedua telapak kaki orang tua sebagai tanda berbakti kepada orang tua. Pelaksanaan upacara ini dilaksanakan setelah upacara ngecagkeun aisan. Pelaksanaanya sebagai berikut :
calon pengantin permpuan bersujud dipangkuan orang tuanya sambil berkata:
“ Ema, Bapa , disuhunkeun wening galihna, jembar manah ti salira. Kersa ngahapunten kana sugrining kalelepatan sim abdi. Rehing dina dinten enjing pisan sim abdi seja nohonan sunah rosul. Hapunten Ema, hapunten Bapa hibar pangdu’a ti salira “
Orang tua calon perempuan menjawab sambil mengelus kepala anaknya :
“ Anaking, ! Titipan Gusti Yang Widi !
Ulah salempang hariwang, hidep sieun teu tinemu bagja ti Ema sareng ti Bapa mah, pidu’a sareng pangampura, dadas keur hidep sorangan, geulis !
Selanjutnya kedua orang tua calon pengantin perempuan membawa anaknya ke tempat siraman untuk melaksanakan upacara siraman.



2.1.6 Siraman





Upacara siraman, artinya memandikan calon pengantin perempuan dengan air yang telah dicampur dengan air bunga tujuh rupa (kembang setaman). Maksud dari upacara siraman adalah sebagai simbol bahwa untuk menuju sebuah mahligai rumah tangga yang suci harus pula diawali dengan tubuh serta niat yang suci pula.
Adapun pelaksanaan upacara siraman adalah sebagai berikut:
1. Sesudahnya membacakan do’a, orang tua laki-laki dari calon pengantin permpuan langsung menyiramkan air dimulai dari atas kepala hingga ujung kakinya. Setelah itu diteruskan oleh ibunya dengan pelaksanaan sama seprti tadi. Dan setelah itu dilanjutkan oleh para kerabat dengan jumlah harus tujuh orang dan harus sudah menikah.
2. Pada siraman terakhir biasanya dilakukan dengan melafalkan jangjawokan (mantra-mantara ) seperti berikut ini :
cai suci cai hurip
cai rahmat cai nikmat
hayu diri uarang mandi
nya mandi jeung para Nabi
nya siram jeung para malaikat
kokosok badan rohani
cur mancur cahayaning Allah
cur mancur cahayaning ingsun
cai suci badan suka
mulih badan sampurna
sampurna ku paraniama



2.1.6 Ngerik





Setelah melaksanakan upacara siraman rangkaian upacara selanjutnya
yaitu, ngerik atau ngeningan. Yaitu mengerik bulu-bulu yang berada di sekitar wajah supaya hasil riasannya baik.
Mantera ketika melaksanakan upacara ngerik :
“Peso putih ninggang kana kulit putih
Cep tiis taya rasana
Mangka mumpung mangka melung
Maka eunteup maka sieup
Mangka meleng ka awakii Ngeuyeuk Seureuh





Kata ngeuyeuk berasal dari kata ngaheuyeuk yang berarti mengurus, mengolah.
Yaitu, mengurus lembaran-lembaran daun sirih disusun kedua lembar perut daun sirih (beuteung seureuh) disatukan selanjutnya diikat menggunakan tali dari benang (kanteh). Acara selanjutnya yaitu berlomba membuat lukun ( gulungan daun sirih yang tekah dibubuhi apu dan gambir ).
Acara nyeuyeuk seureuh biasanya dihadiri oleh kedua calon pengantin beserta dengan keluarganya, yang dilaksanakan pada malam hari sebelum acara akad nikah.
Tata cara melaksanakan upacara ngeuyeuk seureuh adalah sebagai berikut :
Alat dan bahan ( perlengkapan ) ngeuyeuk suereuh ditaruh diatas selembar tikar pandan, kemudian ditutup memakai kain putih (kain kapan)
Pemandu acara kemudian memanggil orang-orang yang akan melaksanakan (membantu) upacara ngeuyeuk seureuh yang berjumlah tujuh orang. Angka tujuh dianggap keramat.
Yang menyaksikan upacara ngeuyeuk seureuh biasanya kebanyakan kaum perempuan. Untuk membedakan antara pelaksana upacara dengan penonton biasanya menggunakan benang putih.
Anak gadis atau jejaka dilarang menyaksikan upacara ini, karena dipercaya akan sulit mendapatkan jodoh ( jomblo )





Upacara Adat Sunda Akad Pernikahan




Pada hari yang telah ditetepkan dan disepakati oleh kedua keluarga calon pengantin. Rombongan keluarga calon pengantin pria datang ke kediaman calon pengantin perempuan. Selain membawa untuk mas kawin biasanya juga membawa barang-barang seperti peralatan dapur, perabotan kamar tidur, kayu bakar, gentong (gerabah untuk menyimpan beras).
Di daerah Priangan susunan acara upacara akad nikah, biasanya
seperti berikut ini :
Pembukaan
a. Penjemputan calon pengantin pria. Dalam acara ini biasanya dilaksanakan prosesi upacara mapag.
b. Mengalungkan untaian bunga melati
c. Gunting pita
Penyerahan calon pengantin pria
a. Yang mewakili pemasrahan calon penganti pria biasanya diwakilkan kepada orang yang dituakan (ahli berpidato)
b. Yang menerima dari perwakilan calon pengantin perempuan juga biasanya diwakilkan.
Akad nikah
Diserahkan kepada petugas dari Kantor Urusan Agama (KUA)
Menyerakan mas kawin (mahar)
Sungkeman
Kedua pengantin melakukan sungkeman meminta do’a dan restu dari kedua orang tua mereka.



2. Upacara Adat Sunda Setelah Akad Pernikahan





Setelah melaksanakan akad nikah kedua mmempelai masih harus melakukan serangkaian upacara adat yang disebut bantayan. Orang yang memimpin upacara ini harus orang yang mempunyai watak humor. Adapun acara adat yang dilakukan pada upacara bantayan adalah sebagai berikut :





1. Sawer pengantin
Kata sawer berasal dari kata panyaweran , yang dalam bahasa Sunda berarti tempat jatuhnya air dari atap rumah atau ujung genting bagian bawah. Mungkin kata sawer ini diambil dari tempat berlangsungnya upacara adat tersebut yaitu panyaweran.
Bahan-bahan yang diperlukan dan digunakan dalam upacara sawer ini tidaklah lepas dari symbol dan maksud yang hendak disampaikan lepada penganti baru ini, seperti :
beras yang mengandung symbol kemakmuran. Maksudnya mudah-mudah setelah berumah tangga pengantin bisa hidup makmur
uang recehan mengandung symbol kemakmuran maksudnya apabila kita mendapatkan kemakmuran kita harus ikhlas berbagi dengan Fakir dan yatim
kembang gula, artinya mudah-mudah dalam melaksanakan rumah tangga mendapatkan manisnya hidup berumah tangga.
kunyit, sebagai symbol kejayaan mudah-mudahan dalam hidup berumah tangga bisa meraih kejayaan.
Kemudian semua bahan dan kelengkapan itu dilemparkan, artinya kita harus bersifat dermawan.
Syair-syair yang dinyanyikan pada upacara adapt nyawer adalah sebagai berikut :



KIDUNG SAWER


Pangapunten kasadaya
Kanu sami araya
Rehna bade nyawer heula
Ngedalkeun eusi werdaya



Dangukeun ieu piwulang
Tawis nu mikamelang
Teu pisan dek kumalancang
Megatan ngahalang-halang



Bisina tacan kaharti
Tengetkeun masing rastiti
Ucap lampah ati-ati
Kudu silih beuli ati



Lampah ulah pasalia
Singalap hayang waluya
Upama pakiya-kiya
Ahirna matak pasea



1 Nincak endog (menginjak telur)
Mengandung symbol keperawanan dan benih artinya agar pengantin perempuan bisa memberikan keturunan yang baik.





2 Meuleum harupat (membakar lidi )
Mengandung maksud bahwa dalam memecahkan suatu permasalahan jangan punya sifat seperti harupat yang mudah patah tetapi harus dengan pikiran yang bijaksana. Pelaksanaannya yaitu kedua mempelai memegang harupat saling berhadapan dan langsung mematahkannya.



3 Buka pintu
Diawali mengetuk pintu tiga kali. Diadakan tanya jawab dengan pantun bersahutan dari dalam dan luar pintu rumah. Setelah kalimat syahadat dibacakan, pintu dibuka. Pengantin masuk menuju pelaminan..Dialog pengantin perempuan dengan pengantin laki-laki seperti berikut ini :



KENTAR BAYUBUD


Istri : Saha eta anu kumawani
Taya tata taya bemakrama
Ketrak- ketrok kana panto



Laki-laki : Geuning bet jadi kitu
Api-api kawas nu pangling
Apan ieu teh engkang
Hayang geura tepung
Tambah teu kuat ku era
Da diluar seueur tamu nu ningali



Istri : Euleuh karah panutan



4 Huap lingkung
Setelah buka pintu dilaksanakan kedua mempelai dipertemukan, dan dibawa ke kamar pengantin untuk melaksanakan upacara huap lingkung.Perlengkapan yang harus disediakan seperti : sepasang merpati, bekakak ayam,nasi kuning, dll.
5 Melepaskan sepasang burung merpat
Upacara ini mengandung maksud bahwa kedua mempelai akan mengarungi dunia baru yaitu dunia rumah tangga.
6 Numbas
Upacara numbas biasa dilaksanakan satu minggu setelah akad nikah. Upacara numbas mengandung maksud untuk memberi tahu kepada keluarga dan tetangga bahwa pengantin perempuan “tidak mengecewakan “ pengantin laki-laki. Upacara numbas dilakukan dengan cara membagi-bagikan nasi kuning
posted by basanova @ 19.02   0 comments
Kamis, 22 Juli 2010
MAESTRO PENARI TOPENG
Mimi Rasinah adalah seorang Penari Topeng Indramayu ternama. Bahkan, namanya pun sudah dimasukkan dalam kategori maestro. Perempuan berusia 80 tahun itu telah memperlihatkan dedikasi yang begitu tinggi terhadap kesenian tradisional itu. Ia bukan hanya menari dengan topeng-topeng yang selalu berganti di wajahnya. Tapi, ia juga menyebarkan inspirasi bagi orang lain untuk mencintai Tari Topeng Indramayu.

Rasinah lahir di Desa Pekandangan, Indramayu, Jawa Barat. Kedua orangtuanya juga seniman. Karena itu, darah seni pun menucur deras di dalam nadinya. Sejak kecil ia telah diajari menari lengkap dengan aturan-aturan “mistis”nya. Bahkan, ia pun telah “diamenkan” di panggung-panggung hajatan (bebarang), untuk menegaskan suratan hidupnya yang seniman.

Masa kanak-kanak dan remaja Rasinah hanyalah tarian. Gejolak hidup Rasinah muda hanyalah panggung-panggung hajatan, lengkap dengan suara tetabuhannya. Sehingga, di luar Tari Topeng Indramayu, sungguh ia bukanlah apa-apa. Seperti pelantun lagu Gambang Kromong klasik, Masnah, ia pun cerminan “anak wayang” yang sepanjang hidupnya lebih diberikan untuk panggung dan penonton. Ia sama sekali tidak mengenal hal lain di luar dunia tersebut. Sekolah atau menikmati keceriaan seperti kaum remaja sebayanya.

Keteguhan Rasinah untuk terus konsisten di jalurnya bukan tidak dihadang masalah. Pergeseran selera masyarakat dari kesenian tradisional ke kesenian yang lebih modern membuat Rasinah – dan seniman tradisional pada umumnya – terkena imbas besar. Mereka kehilangan panggung-panggung hajatan, lahan untuk mengekspresikan kesenimanannya, dan tentu saja, nafkah!

Masa-masa sulit seperti itu dirasakan benar oleh Rasinah. Terlebih setelah ayah dan ibunya meninggal. Ia memang anak tunggal. Sehingga, ia harus menggantungkan hidupnya pada sang suami. Ia nyaris tidak memiliki kesempatan untuk menari. Lantaran tidak ada lagi yang mengundangnya.

Dalam kesendirian dan keterasingan, ia hanya memasrahkan hidupnya pada Yang Mahaperkasa. Ia tidak berani lagi menghitung-hitung suratan nasib di depannya. Karena, ia sadar bahwa ia hanyalah seniman tradisional, plus dengan kemampuan yang terbatas. Untuk beralih pada sumber penghidupan yang lain, ia juga merasa tidak bisa. Maka, ia pun hanya bisa menari di rumahnya sendiri. Kerap, ia menari ditemani cucunya, Aerli. Dan, dengan sisa gendang, saron, dan gong, dari ayahnya, ia juga coba ajarkan pada cucunya yang Edi. Saat itu, ia mencoba menitiskan kemampuan berkeniannya kepada kedua cucunya.

Cara itu ditempuh oleh Rasinah, agar ia tetap memiliki semangat untuk menari. Di benaknya hanya terlintas satu niat, agar hidup yang pahit itu bisa dijalani dengan keceriaan sambil membagi-baginya kepada orang terdekat. Tari Topeng Indramayu adalah satu-satunya harta karun yang dimilikinya. Sehingga, hanya dengan “benda” itulah ia bisa mewariskannya kepada keturunannya.

Bangunan semangat untuk bertahan dan berbagi, serta kepasrahan untuk menyerahkan segala-galanya kepada Dzat Yang Mahasempurna, akhirnya berbuah kebahagiaan. Ketabahan dan kegigihan untuk terus berkesenian secara bersahaja membuahkan perhatian pihak lain. Ia percaya bahwa orang yang tiba-tiba memedulikan dirinya dan Tari Topeng Indramayunya adalah tangan-tangan Tuhan. Ya, cerminan sifat rahman dan rahimNya.

Minat kalangan pemerhati kesenian tersebut yang bertekad merevitalisasi kesenian Tari Topeng Indramayu menebarkan manisnya juga untuk Rasinah. Ia pun diminta untuk menari di berbagai tempat. Bukan sekedar panggung-panggung hajatan di kampung-kampung. Tapi, termasuk juga pentas-pentas di gedung-gedung kesenian di kota besar, di dalam dan luar negeri. Luar biasa!

Gubuk yang tadinya nyaris runtuh karena tidak pernah mendapat perhatian, perlahan-lahan ia bangun kembali. Bahkan, ia pun berhasil membangun sanggar sederhana di salah satu sudut rumahnya. Teman berlatihnya pun bukan hanya Aerli, cucunya. Tapi, anak-anak lain berdatangan untuk meminta juga “harta karun” yang dimiliknya. Seiring dengan itu, panggilan-panggilan untuk menari pun tidak pernah lagi berhenti.

Maka, Rasinah yang oleh murid-muridnya dipanggil Mimi (nenek) telah mendapati kegemilangan nan tiara di hari tuanya. Ia bisa tersenyum bahagia saat meyakini bahwa keteguhannya mendalami Tari Topeng Indramayu membuahkan panen besar. Ia bisa tertawa gembira saat mensyukuri bahwa kesungguhan mengawal kesenian tradisional itu memberikan manfaat tak terhingga. Sehingga, ia pun bisa melupakan kepahitan dan rintangan yang selama menempa perjalanan berkesenianannya dan kehidupan nyatanya.

Kita bisa mengatakan apa yang terjadi pada Mimi Rasinah karena keterpaksaan. Ia terpaksa bertahan dengan kemiskinan dan kepapaannya sebagai seniman tradisional, karena ia tidak memiliki kemampuan lain. Ia terus menekenuni Tari Topeng Indramayu karena tidak ada pilihan lain. Pendapat itu tidak salah. Sama sekali tidak salah.
Tapi, fakta juga berbicara, dengan kemiskinan dan kepapaan itu justru ia terus menari. Padahal ia tidak lagi mendapat panggilan dan memiliki panggung tetap. Ia menari untuk dirinya sendiri dan di “panggung” yang teramat sempit di dalam gubuknya. Ia juga menari sambil membagi “kesenimannya” pada orang terdekat. Kedua hal itu merupakan pertanda kesungguhan untuk mempertahankan hidup dan terus berbagi.

Rasinah laksana setangkai suket (rumput). Suket tidak menyesali kemiskinan, kepapaan, dan kenyataan diri, yang memang berada di bawah. Ia terus bersemangat, bersungguh-sungguh, dan tabah, untuk memulai mengisi pagi. Bahkan, dengan “panggung” yang teramat sederhana, ia terus “berkesenian”. Dan, dengan suka-cita, rona hijau ditebarkan ke sekelilingnya. Ia bertahan dan memberi. Sebuah ajaran cinta terdalam, yang tidak lagi berpikir tentang keberadaan diri dan imbalan atas penebaran cinta itu sendiri.

Yang dilakukan Rasinah saat persoalan-persoalan hidup memburunya tanpa henti adalah memasrahkannya kepada Yang Mahamemberi. Keluh-kesah, penyesalan, putus asa, apatis menghadapi hidup, justru hanya akan menyurut semangat bertahan dan kesungguhan memberi. Sehingga, tanpa proklamasi dan pengumuman yang berlebih, ia memang menunjukkan kebangkitannya sebagai khalifah. Tanpa berpikir tentang hakekat hijrah nurani yang sering diungkap oleh Kalangan Sufi, ia justru telah melakukannya dengan istiqomah.

Kebangkitan itu sendiri tidak identik dengan pelarian atas kepungan masalah atau kemadekan karier. Tapi, “pribadi nan tercerahkan” adalah pilihan lain dari hidup ini. Siapa pun boleh hidup dengan pilihan apanya masing-masing. Entah terus menjunjungi semangat mimpi, keinginan, cita-cita, dan ambisi, untuk meraih kebahagiaan duniawi. Atau, mencoba meraih target kebahagiaan di alam lain. Terserah saja.

Yang pasti, Rasinah telah memperlihatkan contoh menarik, untuk memilih pilihan yang lain. Sebuah target, yang bisa jadi, tidak lazim dan tidak popular. Tapi, bila hal itu bisa menenangkan batin, sekaligus mampu membangkitkan semangat, kesungguhan, ketekunan, dan kegigihan, untuk mendapati hidup itu sendiri, serta menikmatinya dengan penuh kemenangan.

Di usia senjanya sekarang, Rasinah nyaris tak bisa lagi menggerakkan tangan, menghentakkan kaki, dan memancangkan topeng di wajahnya. Bahkan, serangan stroke memaksanya untuk bolak-balik ke rumahsakit. Tragisnya, karena ketiadaan biaya, keluarganya sampai berkeinginan menjual topeng-topengnya. Satu-satunya keperkasaan yang masih ditorehkan seorang Rasinah, di tengah ketidakberdayaannya, ialah ketetapan hatinya memaksakan diri untuk mengawasi murid-muridnya setiap kali berlatih menari. Subhanallah.

“Yang membuat kami terharu dan yang paling berkesan, ia pernah mengatakan bahwa ia akan mati di atas panggung,” tutur salah seorang cucunya Edi Suryadi dalam film dokumenter “dua Perempuan” produksi Matahati Productions, 2007, yang mengangkat cerita tentang Rasinah dan Masnah, penyanyi Gambang Kromong terkemuka
posted by basanova @ 23.52   1 comments
MUSIK TRADISIONAL
NKRI adalah sebuah negara yang meliputi ribuan pulau yang terbentang dari Sabang hingga Merauke, dimana dari sekian banyaknya kepulauan beserta masyarakatnya tersebut lahir, tumbuh dan berkembang berbagai budaya daerah. Seni tradisional yang merupakan jati diri, identitas dan media ekspresi dari masyarakat pendukungnya.
Hampir seluruh wilayah NKRI mempunyai seni musik tradisional yang khusus dan khas. Dari keunikan tersebut bisa nampak terlihat dari teknik permainannya, penyajiannya maupun bentuk/organologi instrumen musiknya. Seni tradisonal itu sendiri mempunyai semangat kolektivitas yang tinggi, sehingga dapat dikenali karakter dan ciri khas masyarakat Indonesia, yaitu yang terkenal ramah dan santun.
Untuk lebih mengenal lebih dekat musik tradisional kita dapat dikategorikan menjadi beberapa kelompok yaitu :
1. Instrumen Musik Perkusi.
Perkusi adalah sebutan bagi semua instrumen musik yang teknik permainannya di pukul, baik menggunakan tangan maupun stik. Dalam hal ini beberapa instrumen musik yang tergolong dalam alat musik perkusi adalah Gamelan, Kendang, Kecapi, Arumba, Talempong, Sampek dan Kolintang, Rebana, Bedung, Jimbe dan lain sebagainya.
a. Gamelan adalah alat musik yang terbuat dari bahan logam, gamelan berasal dari daerah Jawa tengah, Yogyakarta, Jawa Timur juga di Jawa Barat disebut dengan Degung dan di Bali disebut Gamelan Bali. Satu perangkat gamelan terdiri dari instrumen saron, demung, gong, kenong, slentem, bonang, peking, gender dan beberapa instrumen lainnya. Disamping itu gamelan mempunyai nada pentatonis/pentatonic.
b. Kendang adalah sejenis alat musik perkusi yang membrannya berasal dari kulit hewan (kambing). Kendang atau gendang dapat dijumpai di banyak wilayah Indonesia. Di daerah Jawa Barat kendang mempunyai peranan penting dalam tarian Jaipong. Di Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur dan Bali kendang selalu digunakan dalam permainan gamelan baik untuk mengiringi tarian, wayang dan ketoprak. Tifa adalah alat musik sejenis kendang yang dapat di jumpai di daerah Papua, Maluku dan Nias. Rebana adalah jenis alat musik yang biasa di gunakan dalam kesenian yang bernafaskan Islam. rebana dapat dijumpai hampir di sebagian wilayah Indonesia.
c. Kecapi adalah alat musik petik yang berasal dari daerh Jawa Barat. Bentuk organologi kecapi adalah sebuah kotak kayu yang diatasnya berjajar dawai/senar, kotak kayu tersebut berguna sebagai resonatornya. Alat musik yang menyerupai kecapi adalah siter dari Jawa Tengah.
d. Arumba (alunan rumpun bambu) berasal dari daereah Jawa Barat. Arumba adalah alat musik yang terbuat dari bahan bambu yang di mainkan dengan melodis dan ritmis. Pad awalnya arumba menggunakan tangga nada pentatonis namun dalam perkembangannya menggunakan tangga nada diatonis.
e. Talempong adalah seni musik tradisi dari Minangkabau. Talempong adalah alat musik bernada diatonis (do, re, mi, fa, sol, la, si, do).
f. Sampek (sampe/sapek) adlah alat musik yang bentuknya menyerupai gitar berasal dari daerah Kalimantan. Alat musik ini terbuat dari bahan kayu yang dipenuhi dengan ornamen/ukiran yang indah. Alat musik petik lainnya yang bentuknya menyerupai sampek adalah Hapetan dari daerah Tapanuli, Jungga dari Sulawesi Selatan.
g. Kolintang atau kulintang berasal dari daerah Minahasa. Alat musik ini mempunyai tangga nada diatonis yang semua instrumennya terdiri dari bas, melodis dan ritmis. Bahan dasar dibuat dari kayu dan cara untuk memainkan alat musik ini di pukul dengan menggunakan stik.
h. Sasando adalah alat musik petik berasal dari daerah Nusa Tenggara Timur, kecapi ini terbuat dari bambu dengan diberi dawai/senar sedangkan untuk resonasinya di buat dari anyaman daun lontar yang mempunyai bentuk setengah bulatan.
2. Instrumen Musik Gesek.
Instrumen musik tradisional yang menggunakan teknik permainan digesek adalah Rebab. Rebab berasal dari daerah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jakarta (kesenian betawi). Rebab terbuat dari bahan kayu dan resonatornya ditutup dengan kulit tipis, mempunyai dua buah senar/dawai dan mempunyai tangga nada pentatonis. Instrumen musik tradisional lainnya yang mempunyai bentuk seperti rebab adalah Ohyan yang resonatornya terbuat dari tempurung kelapa. Rebab jenis ini dapat dijumpai di Bali, Jawa dan Kalimantan Selatan.
3. Instrumen Musik Tiup.
Suling adalah instrumen musik tiup yang terbuat dari bambu hampir semua daerah di Indonesia dapat dijumpai alat musik ini. Saluang adalah alat musik tiup dari Sumatera Barat, serunai dapat dijumpai di Sumatera Utara, Kalimantan. Suling Lembang berasal dari daerah Toraja yang mempunyai panjang antara 40 – 100 cm dengan garis tengah 2 cm.
Tarompet, serompet, selompret adalah jenis alat musik tiup yang mempunyai 4 – 6 lubang nada dan bagian untuk meniupnya berbentuk corong. Seni musik tradisional yang menggunakan alat musik seperti ini adalah kesenian rakyat Tapanuli, Jawa Barat, Jawa Timur, Madura dan Papua.
posted by basanova @ 23.41   0 comments
Sabtu, 08 Mei 2010
MUSIK ANGKLUNG JAWA BARAT
Angklung merupakan sebuah alat musik tradisional terkenal yang dibuat dari bambu dan merupakan alat musik asli Jawa Barat, Indonesia. Dulunya, angklung memegang bagian penting dari aktivitas upacara tertentu, khususnya pada musim panen. Suara angklung dipercaya akan mengundang perhatian Dewi Sri (Nyi Sri Pohaci) yang akan membawa kesuburan terhadap tanaman padi para petani dan akan memberikan kebahagian serta kesejahteraan bagi umat manusia.

Angklung yang tertua di dalam sejarah yang masih ada disebut Angklung Gubrag dibuat di Jasinga, Bogor, Indonesia dan usianya telah mencapai 400 tahun. Sekarang ini, beberapa angklung tersebut disimpan di Museum Sri Baduga, Bandung, Indonesia.

Dengan berjalannya waktu, Angklung bukan hanya dikenal di seluruh Nusantara, tetapi juga merambah ke berbagai negara di Asia. Pada akhir abad ke-20, Daeng Soetigna menciptakan angklung yang didasarkan pada skala suara diatonik. Setelah itu, angklung telah digunakan di dalam bisnis hiburan sejak alat musik ini dapat dimainkan secara berpadu dengan berbagai macam alat musik lainnya. Pada tahun 1966, Udjo Ngalagena, seorang siswa dari Tuan Daeng Soetigna mengembangkan angklung berdasarkan skala suara alat musik Sunda, yaitu salendro, pelog, dan madenda.

Macam-macam Angklung
1. Angklung Kanekes
Angklung di daerah Kanekes (kita sering menyebut mereka Badui) digunakan terutama karena hubungannya dengan upacara padi, bukan semata-mata untuk hiburan orang-orang. Angklung digunakan atau dibunyikan ketika mereka menanam padi di huma (ladang). Angklung ditabuh ketika orang Kanekes menanam padi; ada yang hanya dibunyikan bebas (dikurulungkeun), terutama di Kajeroan (Tangtu, Badui Jero), dan ada yang dengan ritmis tertentu, yaitu di Kaluaran (Baduy Luar). Meski demikian, angklung masih bisa ditampilkan di luar ritus padi dan tetap memunyai aturan, misalnya hanya boleh ditabuh hingga masa ngubaran pare (mengobati padi), sekitar tiga bulan dari sejak ditanamnya padi. Setelah itu, selama enam bulan berikutnya semua kesenian tidak boleh dimainkan, dan boleh dimainkan lagi pada musim menanam padi berikutnya. Menutup angklung dilaksanakan dengan acara yang disebut musungkeun angklung, yaitu nitipkeun (menitipkan, menyimpan) angklung setelah dipakai.
Dalam sajian hiburan, angklung biasanya diadakan saat terang bulan dan tidak hujan. Mereka memainkan angklung di buruan (halaman luas di pedesaan) sambil menyanyikan bermacam-macam lagu, antara lain: "Lutung Kasarung", "Yandu Bibi", "Yandu Sala", "Ceuk Arileu", "Oray-orayan", "Dengdang", "Yari Gandang", "Oyong-oyong Bangkong", "Badan Kula", "Kokoloyoran", "Ayun-ayunan", "Pileuleuyan", "Gandrung Manggu", "Rujak Gadung", "Mulung Muncang", "Giler", "Ngaranggeong", "Aceukna", "Marengo", "Salak Sadapur", "Rangda Ngendong", "Celementre", "Keupat Reundang", "Papacangan", dan "Culadi Dengdang".
Para penabuh angklung sebanyak delapan orang dan tiga penabuh bedug ukuran kecil membuat posisi berdiri sambil berjalan dalam formasi lingkaran. Sementara itu yang lainnya ada yang ngalage (menari) dengan gerakan tertentu yang telah baku tetapi sederhana. Semuanya dilakukan hanya oleh laki-laki. Hal ini berbeda dengan masyarakat Badui Dalam, mereka dibatasi oleh adat dengan berbagai aturan pamali (pantangan, tabu), tidak boleh melakukan hal-hal kesenangan duniawi yang berlebihan. Kesenian semata-mata dilakukan untuk keperluan ritual.
Nama-nama angklung di Kanekes dari yang terbesar adalah: indung, ringkung, dongdong, gunjing, engklok, indung leutik, torolok, dan roel. Roel yang terdiri dari dua buah angklung dipegang oleh seorang. Nama-nama bedug dari yang terpanjang adalah: bedug, talingtit, dan ketuk. Penggunaan instrumen bedug terdapat perbedaan, yaitu di kampung-kampung Kaluaran mereka memakai bedug sebanyak tiga buah. Di Kajeroan, kampung Cikeusik, hanya menggunakan bedug dan talingtit, tanpa ketuk. Di Kajeroan, Kampung Cibeo, hanya menggunakan bedug, tanpa talingtit dan ketuk.
Di Kanekes yang berhak membuat angklung adalah orang Kajeroan (Tangtu, Badui Jero). Kajeroan terdiri dari tiga kampung, yaitu Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Di ketiga kampung ini tidak semua orang bisa membuatnya, hanya yang punya keturunan dan berhak saja yang mengerjakannya di samping adanya syarat-syarat ritual. Pembuat angklung di Cikeusik yang terkenal adalah Ayah Amir (59), dan di Cikartawana Ayah Tarnah. Orang Kaluaran membeli dari orang Kajeroan di tiga kampung tersebut.
2. Angklung Dogdog Lojor
Kesenian dogdog lojor terdapat di masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan atau kesatuan adat Banten Kidul yang tersebar di sekitar Gunung Halimun (berbatasan dengan Sukabumi, Bogor, dan Lebak). Meski kesenian ini dinamakan dogdog lojor, yaitu nama salah satu instrumen di dalamnya, tetapi di sana juga digunakan angklung karena kaitannya dengan acara ritual padi. Setahun sekali, setelah panen seluruh masyarakat mengadakan acara Serah Taun atau Seren Taun di pusat kampung adat. Pusat kampung adat sebagai tempat kediaman kokolot (sesepuh) tempatnya selalu berpindah-pindah sesuai petunjuk gaib.
Tradisi penghormatan padi pada masyarakat ini masih dilaksanakan karena mereka termasuk masyarakat yang masih memegang teguh adat lama. Secara tradisi mereka mengaku sebagai keturunan para pejabat dan prajurit keraton Pajajaran dalam baresan pangawinan (prajurit bertombak). Masyarakat Kasepuhan ini telah menganut agama Islam dan agak terbuka akan pengaruh modernisasi, serta hal-hal hiburan kesenangan duniawi bisa dinikmatinya. Sikap ini berpengaruh pula dalam dalam hal fungsi kesenian yang sejak sekitar tahun 1970-an, dogdog lojor telah mengalami perkembangan, yaitu digunakan untuk memeriahkan khitanan anak, perkawinan, dan acara kemeriahan lainnya.
Instrumen yang digunakan dalam kesenian dogdog lojor adalah dua buah dogdog lojor dan empat buah angklung besar. Keempat buah angklung ini memunyai nama, yang terbesar dinamakan gonggong, kemudian panembal, kingking, dan inclok. Tiap instrumen dimainkan oleh seorang, sehingga semuanya berjumlah enam orang. Lagu-lagu dogdog lojor di antaranya: "Bale Agung", "Samping Hideung", "Oleng-oleng Papanganten", "Si Tunggul Kawung", "Adulilang", dan "Adu-aduan". Lagu-lagu ini berupa vokal dengan ritmis dogdog dan angklung cenderung tetap.
3. Angklung Gubrag
Angklung gubrag terdapat di Kampung Cipining, Kecamatan Cigudeg, Bogor. Angklung ini telah berusia tua dan digunakan untuk menghormati dewi padi dalam kegiatan melak pare (menanam padi), ngunjal pare (mengangkut padi), dan ngadiukeun (menempatkan) ke leuit (lumbung). Dalam mitosnya angklung gubrag mulai ada ketika suatu masa Kampung Cipining mengalami musim paceklik.
4. Angklung Badeng
Badeng merupakan jenis kesenian yang menekankan segi musikal dengan angklung sebagai alat musiknya yang utama. Badeng terdapat di Desa Sanding, Kecamatan Malangbong, Garut. Dulu berfungsi sebagai hiburan untuk kepentingan dakwah Islam. Diduga badeng telah digunakan masyarakat sejak lama dari masa sebelum Islam untuk acara-acara yang berhubungan dengan ritual penanaman padi. Sebagai seni untuk dakwah badeng dipercaya berkembang sejak Islam menyebar di daerah ini sekitar abad ke-16 atau ke-17. Pada masa itu penduduk Sanding, Arpaen, dan Nursaen belajar agama Islam ke Kerajaan Demak. Setelah pulang dari Demak mereka berdakwah menyebarkan agama Islam. Salah satu sarana penyebaran Islam yang digunakannya adalah dengan kesenian badeng.
Angklung yang digunakan sebanyak sembilan buah, yaitu dua angklung roel, satu angklung kecer, empat angklung indung dan angklung bapa, dua angklung anak, dua buah dogdog, dua buah terbang atau gembyung, serta satu kecrek. Teksnya menggunakan bahasa Sunda yang bercampur dengan bahasa Arab. Dalam perkembangannya sekarang digunakan pula bahasa Indonesia. Isi teks memuat nilai-nilai Islami dan nasihat-nasihat baik, serta menurut keperluan acara. Dalam pertunjukannya selain disajikan lagu-lagu, disajikan pula atraksi kesaktian, seperti mengiris tubuh dengan senjata tajam. Lagu-lagu badeng: "Lailahaileloh", "Ya’ti", "Kasreng", "Yautike", "Lilimbungan", dan "Solaloh".
5. Buncis
Buncis merupakan seni pertunjukan yang bersifat hiburan, di antaranya terdapat di Baros (Arjasari, Bandung). Pada mulanya buncis digunakan pada acara-acara pertanian yang berhubungan dengan padi. Tetapi pada masa sekarang buncis digunakan sebagai seni hiburan. Hal ini berhubungan dengan semakin berubahnya pandangan masyarakat yang mulai kurang mengindahkan hal-hal berbau kepercayaan lama. Tahun 1940-an dapat dianggap sebagai berakhirnya fungsi ritual buncis dalam penghormatan padi, karena sejak itu buncis berubah menjadi pertunjukan hiburan. Sejalan dengan itu tempat-tempat penyimpanan padi pun (leuit, lumbung) mulai menghilang dari rumah-rumah penduduk, diganti dengan tempat-tempat karung yang lebih praktis, dan mudah dibawa ke mana-mana. Padi pun sekarang banyak yang langsung dijual, tidak disimpan di lumbung. Dengan demikian kesenian buncis yang tadinya digunakan untuk acara-acara ngunjal (membawa padi) tidak diperlukan lagi.
Nama kesenian buncis berkaitan dengan sebuah teks lagu yang terkenal di kalangan rakyat, yaitu "cis kacang buncis nyengcle ...". Teks tersebut terdapat dalam kesenian buncis, sehingga kesenian ini dinamakan buncis.
Instrumen yang digunakan dalam kesenian buncis: dua angklung indung, dua angklung ambrug, satu angklung panempas, dua angklung pancer, satu angklung enclok, tiga buah dogdog (satu talingtit, satu panembal, dan satu badublag). Dalam perkembangannya kemudian ditambah dengan tarompet, kecrek, dan goong. Angklung buncis berlaras salendro dengan lagu vokal bisa berlaras madenda atau degung. Lagu-lagu buncis di antaranya: "Badud", "Buncis", "Renggong", "Senggot", "Jalantir", "Jangjalik", "Ela-ela", "Mega Beureum". Sekarang lagu-lagu buncis telah menggunakan pula lagu-lagu dari gamelan, dengan penyanyi yang tadinya laki-laki pemain angklung, kini oleh wanita khusus untuk menyanyi.
Dari beberapa jenis musik bambu di Jawa Barat (angklung) di atas, adalah beberapa contoh saja tentang seni pertunjukan angklung, yakni: angklung buncis (Priangan/Bandung), angklung badud (Priangan Timur/Ciamis), angklung bungko (Indramayu), angklung gubrag (Bogor), angklung ciusul (Banten), angklung dog dog lojor (Sukabumi), angklung badeng (Malangbong, Garut), dan angklung padaeng yang identik dengan angklung nasional dengan tangga nada diatonis, yang dikembangkan sejak tahun 1938. Angklung khas Indonesia ini berasal dari pengembangan angklung Sunda. Angklung Sunda yang bernada lima (salendro atau pelog) oleh Daeng Sutigna alias Si Etjle (1908—1984) diubah nadanya menjadi tangga nada Barat (solmisasi) sehingga dapat memainkan berbagai lagu lainnya. Hasil pengembangannya kemudian diajarkan ke siswa-siswa sekolah dan dimainkan secara orkestra besar.
posted by basanova @ 20.59   0 comments
About Me


Name: basanova
Home:
About Me:
See my complete profile

Previous Post
Archives
Links
  • Architecture News
  • Ungu – Dilema Cinta

    Seberapa salahkah diriku
    Hingga kau sakiti aku begitu menusukku
    Inikah caramu membalas
    Aku yang selalu ada saat kau terluka

    Seberapa hinanya diriku
    Hingga kau ludahi semua yang ku beri untukmu
    Tak ada satu pun perasaan yang mampu membuatku begitu terluka

    Namun ku terlanjur mencintai dirimu
    Terlambat bagiku pergi darimu
    Bagiku terlalu indah perasaan itu
    Tak mudah untukku menjauh darimu

    Telah ku coba segala cara
    ‘Tuk bahagiakan kamu
    Merebut hatimu
    Namun tak semudah yang ku bayangkan
    Bila kau tak inginkan ku ’tuk di sisimu

    Tak pernah kurasakan sebelumnya
    Menginginkan dirinya hingga ku tak kuasa
    Meyakini hatiku bahwa ku mampu berlalu

    Namun ku terlanjur mencintai dirimu
    Terlambat bagiku pergi darimu
    Bagiku terlalu indah perasaan itu
    Tak mudah untukku menjauh darimu

    Namun ku terlanjur mencintai dirimu
    Terlambat bagiku pergi darimu
    Bagiku terlalu indah perasaan itu
    Tak mudah untukku menjauh darimu

    Lirik lagu Ungu – Dilema Cinta ini dipersembahkan oleh LirikLaguIndonesia.Net. Kunjungi DownloadLaguIndonesia.Net untuk download MP3 Ungu – Dilema Cinta.

  • Insurance News
  • ST12 – Isabella (OST Isabella)

    isabella adalah kisah cinta dua dunia
    mengapa kita berjumpa namun akhirnya terpisah
    ooooh oooow ow ow ow

    terbayang lambaiannya saatku terbakar kehangatan
    dunia dipenuhi warna berseri bunga cinta
    kita yang terlena hingga musim berubah
    mentari menyepi menyalakan api cinta

    reff:
    dia isabella, lambang cinta dan prahara
    terpisah karena adat yang berbeda
    cinta gugur bersama daun-daun kekeringan

    haluan hidupku terpisah dengan isabella
    terbayang lambaiannya saatku terbakar kehangatan
    siang jadi hilang ditelan kegelapan malam
    alam yang terpisah melenyapkan sebuah kisah

    repeat reff [2x]

    Lirik lagu ST12 – Isabella (OST Isabella) ini dipersembahkan oleh LirikLaguIndonesia.Net. Kunjungi DownloadLaguIndonesia.Net untuk download MP3 ST12 – Isabella (OST Isabella).

  • Gold Mining News
  • The Dance Company – Papa Rock N Roll

    papa memang harus begini
    sering bikin sakit hati
    papa gak pulang beibeh
    papa gak bawa uang beibeh

    papa mungkin seminggu dibali
    nyari panggung sana sini
    papa gak pulang beibeh
    papa gak bawa uang beibeh

    bukanlah rasa untuk lari
    itu tuntutan profesi
    papa gak pulang beibeh
    papa gak bawa uang beibeh

    mama please, please don’t be angry
    papa sibuk …
    papa gak pulang beibeh
    papa gak bawa uang beibeh

    pengen kayak Bon Jovi (I’ll be there for you)
    rock star yang sayang istri
    mama aku disini
    memelukmu lagi

    one more time

    pengen kayak Bon Jovi
    rock star yang sayang istri
    mama aku disini
    memelukmu lagi

    papa memang harus begini
    sering bikin sakit hati
    papa gak pulang beibeh
    papa gak bawa uang beibeh

    papa mungkin seminggu di bali
    nyari panggung sana sini
    papa gak pulang beibeh
    papa gak bawa uang beibeh

    papa gak pulang
    gak bawa uang
    papa gak pulang
    papa gak bawa uang

    Lirik lagu The Dance Company – Papa Rock N Roll ini dipersembahkan oleh LirikLaguIndonesia.Net. Kunjungi DownloadLaguIndonesia.Net untuk download MP3 The Dance Company – Papa Rock N Roll.

  • Wedding Planning
  • Firmal Idol – Kehilangan

    Ku coba ungkap tabir ini
    Kisah antara kau dan aku
    Terpisahkan oleh ruang dan waktu
    Menyudutkanmu meninggalkanku

    Ku merasa tlah kehilangan
    Cintamu yang tlah lama hilang
    Kau pergi jauh karena salahku
    Yang tak pernah menganggap kamu ada

    *
    Asmara memisahkan kita
    Mengingatkanku pada dirimu
    Gelora mengingatkanku
    Bahwa cintamu tlah merasuk jantungku

    Reff:
    Sejujurnya ku tak bisa
    Hidup tanpa ada kamu aku gila
    Seandainya kamu bisa
    Mengulang kembali lagi cinta kita

    Takkan ku sia-siakan kamu lagi

    Back to *, Reff:

    Sejujurnya ku tak bisa
    Hidup tanpa ada kamu aku gila

    Takkan ku sia-siakan kamu lagi.. (2x)

    Lirik lagu Firmal Idol – Kehilangan ini dipersembahkan oleh LirikLaguIndonesia.Net. Kunjungi DownloadLaguIndonesia.Net untuk download MP3 Firmal Idol – Kehilangan.

  • Classic Furnitures
  • Fan Gears
  • Exotic Car Pictures
  • Easy Light Digital
  • Jupetong
  • Auto Parts
  • Phones and Accessories
  • PDF Downloads
Free Blogger Templates